Oleh : Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat
Soal jumlah orang miskin, khusus nya di negara kita, kembali jadi perbincangan menarik, setelah Bank Dunia merubah batas garis kemiskinan. Banyak hal-hal yang membuat kita mengerutkan dahi. Salah satunya adalah fenomena swasembada beras 2019-2021. Pertanyaannya adalah apakah dengan keberhasilan swasembada beras membuat jumlah orang miskin jadi membengkak?
Kalau swasembada beras dimaknai bukan hanya tidak adanya impor beras komersil, tentu yang nama nya peningkatan produksi dalam negeri, menjadi salah satu faktor penyebabnya juga. Bila produksi mampu ditingkatkan secara signifikan, mestinya pendapatan petani akan semakin membaik. Artinya, jumlah orang miskin bakal berkurang.
Sayang, logika seperti ini jadi tidak berlaku, ketika batas garis kemiskinan dirubah. CNBC, melaporkan, basis perhitungan Bank Dunia terbaru menetapkan bahwa garis kemiskinan ekstrem naik dari Rp 28.000,- menjadi Rp 32.000 per hari. Sementara untuk kelas menengah ke bawah, garis batasnya telah diubah menjadi Rp 55.000,- dari Rp 48.000,- per hari. Kemudian kelas menengah ke atas, juga naik menjadi Rp 104.000,- dari sebelumnya sebesar Rp 83.000,- per hari.
Menurut Bank Dunia, terdapat 13 juta warga Indonesia yang harus turun kelas dari menengah ke bawah ke kelompok miskin setelah batas baru ditetapkan. Kemudian jika menggunakan batas kelas menengah ke atas yang turun, maka jumlah warga miskin Indonesia akan bertambah dari 27 juta menjadi 168 juta.
Mengutip penjelasan Bank Dunia, garis kemiskinan untuk menentukan kelas menengah diambil dengan menggunakan median dari garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah ke bawah dan menengah ke atas.
Disebutkan bahwa faktor paling penting dari perubahan garis batas ini adalah karena adanya kenaikan harga yang membuat kemampuan daya beli masyarakat berkurang dan meningkatkan angka kemiskinan.
Di negeri ini, sudah sejak lama kemiskinan di bahas dan seolah-olah diperdagangkan. Kemiskinan pun kerapkali dibincangkan di hotel-hotel mewah lengkap dengan AC. Disana bicara berbagai komponen bangsa. Semua sepakat kemiskinan harus secepatnya dihapus dan diganti dengan suasana ketidak-miskinan. Kemiskinan bukan kondisi yang patut dibanggakan, namun dalam tempo yang sesegera mungkin, perlu dituntaskan.
Akibatnya, wajar bila siapa pun yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengelola bangsa dan negara tercinta, pasti akan menjadikan kemiskinan sebagai musuh utama yang perlu diperangi dengan segera. Perang melawan kemiskinan senantiasa bakal tampil sebagai strategi utama dalam mengarungi pembangunan yang dijalankan. Catatan penting nya adalah bagaimana sesungguhnya gambaran kemiskinan di negara kita?
Bagi bangsa yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, kemiskinan itu merupakan aib kehidupan. Tidak seharusnya bangsa tersebut tersandera kemiskinan yang tidak berujung pangkal. Dengan kekayaan sumber daya yang dimilikinya, sudah sepatutnya segenap warga bangsa tersebut dapat hidup sejahtera dan bahagia.
Pertanyaannya adalah mengapa ada diantara negara dan bangsa yang memiliki sumber daya alam berlimpah dan sumber daya manusia yang jumlahnya sangat besar, malah tidak mampu membebaskan warga bangsanya dari jeratan kemiskinan? Pasti ada yang salah. Dugaan para pengamat mengapa hal itu dapat terjadi, karena pengelolaan pembangunan yang ditempuhnya, belum senafas dengan apa yang diamanatkan oleh konstitusi negara kita.
Tujuan Indonesia merdeka seperti yang diamanatkan alinea keempat Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang dimaksud dengan kesejahteraan umum, bukanlah kesejahteraan bagi perorangan atau kelompok, namun yang lebih penting untuk digarap adalah bagaimana usaha yang harus ditempuh agar seluruh warga bangsa dapat hidup sejahtera.
Sejak Indonesia merdeka 77 tahun lalu, yang namanya “kesejahteraan umum” lebih mengedepan sebagai sebuah cita-cita dari pada fakta kehidupan di masyarakat. Suasana sejahtera belum dapat dirasakan kenikmatannya oleh seluruh masyarakat. Berdasarkan pengamatan yang ada, baru sebagian kecil anak bangsa yang layak dan pantas disebut hidup sejahtera. Sisanya, sebagian besar warga bangsa tampak masih hidup sengsara dan melarat.
Jadi ingat di era Pemerintahan Orde Baru. Saat itu ramai diberitakan ada sekirar 250 orang anak bangsa yang diberi julukan sebagai “konglomerat”. Mereka sering diajak Presiden Soeharto untuk bicara soal kisah sukses pembangunan. Mereka menguasai sektor perbankan. Ada juga yang berjaya di pemukiman dan perumahan. Banyak yang berkiprah dalam pengembangan kawasan industri. Diantara mereka ada juga yang jadi “raja sawit” di berbagai daerah.
Itulah para konglomerat. Dalam kehidupan kesehariannya hampir tidak ada yang mengaku hidup sengsara. Mereka pantas disebut selaku penikmat pembangunan. Catatan pentingnya adalah apakah tujuan Indonesia merdeka hanya ingin melahirkan para konglomerat yang jumlahnya 250 orang saja? Jawab nya tegas : tidak! Yang diinginkan para pendiri republik adalah bagaimana agar kemerdekaan yang ditebus dengan cucuran darah dan nyawa para pejuang ini mampu mensejahterakan segenap rakyat Indonesia.
Artinya suatu kesalahan yang sangat fatal, bila selama kita melakoni pembangunan, ternyata malah menciptakan lebih banyak korban-korban pembangunan ketimbang para penikmat pembangunan. Mereka inilah yang dalam bahasa para aktivis disebut sebagai orang yang terpinggirkan dari panggung pembangunan. Mereka ada di pelosok perdesaan yang tercatat selaku petani gurem dan buruh tani. Mereka terlihat di pinggiran pantai yang berkiprah selaku nelayan tradisional, gurem dan buruh.
Perubahan garis kemiskinan Bank Dunia membuat jumlah orang miskin di negara kita bertambah. Setuju atau tidak dengan gambaran yang demikian, namun faktanya seperti itu. Bank Dunia sendiri telah merilis hasil analisisnya. Tinggal sekarang, bagaimana kita menyikapinya. Kemiskinan memang menjadi tugas utama untuk diselesaikan. Semoga dengan adanya perubahan garis kemiskinan Bank Dunia akan menyadarkan kita, bahww soal kemiskinan memang belum tertuntaskan betul di negeri ini. (DM05)