Oleh : Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat
Posisi pemuda dalam pembangunan, sebetulnya sangat strategis. Pemuda sering dilukiskan sebagai pewaris bangsa dan negara. Di pundak para pemuda inilah terpikul kehormatan dan tanggungjawab untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera dan bahagia. Itu sebabnya, mengapa pemuda kerap kali disebut selaku generasi penerus pelanjut cita-cita perjuangan bangsa.
28 Oktober 2022 ini kembali bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini berusia 94 tahun. Sumpah Pemuda inilah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan Indonesia Merdeka. Ikrar Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia, benar-benar mampu membuka kesadaran baru bagi para pejuang bangsa saat itu, untuk lebih heroik dalam merebut kemerdekaan.
Kini usia Sumpah Pemuda sudah 94 tahun. Banyak hal yang dapat kita bincangkan. Salah satunya bagaimana kaitan pemuda dengan dunia pertanian. Ini penting, karena dalam waktu belakangan ini, kaum muda terekam semakin tidak tertarik untuk berkiprah menjadi petani. Profesi petani benar-benar tidak dilirik. Para pemuda ingin mendapatkan pekerjaan yang mampu menjamin kehidupannya.
Fenomena ini sungguh berbeda dengan apa yang berlangsung di Korea Selatan. Disana ada yang disebut dengan “fenomena kwichon”. Sejak 2015 lalu, banyak anak muda perkotaan Korea Selatan yang berduyun-duyun meninggalkan kota untuk datang ke desa. Lalu, mereka menetap dan tinggal di desa dengan memilih petani sebagai profesi kehidupan nya.
Suasana seperti ini, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negara kita. Kaum muda pedesaan, sudah sejak puluhan tahun lalu, terekam sudah tidak tertarik lagi jadi petani. Mereka pun ramai-ramai keluar dari desa untuk menyerbu perkotaan demi mendapat kehidupan yang lebih baik. Profesi petani, untuk sekarang bukan pilihan terbaik untuk diambil.
Di benak kaum muda, jadi petani identik masuk kedalam kubangan kemiskinan dan kesengsaraan. Kaum muda pedesaan telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana nasib dan kehidupan para petani yang hingga sekarang, susah membebaskan diri dari suasana hidup melarat.
Akibatnya lumrah, bila kaum muda pedesaan bebondong-bondong meninggalkan tempat kelahirannya untuk datang ke perkotaan. Mereka optimistis di perkotaan inilah akan diperoleh pekerjaan yang menjanjikan dan mampu memenuhi harapannya. Mereka meyakini hidup di kota akan lebih menyenangkan ketimbang terus menetap di pedesaan.
Catatan pentingnya, kaum muda pedesaan saat ini sudah jarang yang mau menjadikan petani sebagai mata pencahariannya. Lebih parah lagi, ternyata banyak orang tua yang kini berprofesi sebagai petani melarang anak-anak mereka menjadi petani. Para orang tua ini lebih mendambakan anak-anak mereka jadi pegawai negeri atau pegawai swasta.
Lengkap sudah. Nilai kehidupan dan budaya masyarakat pedesaan kini tengah berubah. Kaum mudanya enggan jadi petani, para orang tua yang profesinya petani pun tidak rela bila anak-anak mereka menjadi petani. Artinya, petani bukanlah pekerjaan yang didambakan kaum muda pedesaan, karena mereka paham betul, jadi petani tidak bakal hidup sejahtera dan bahagia.
Menurun nya minat kaum muda pedesaan jadi petani, betul-betul merupalan masalah serius untuk dijadikan bahan pencermatan kita bersama. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang akan menggantikan petani padi yang saat ini terlihat sudah pada sepuh, jika kaum muda pedesaan sendiri tidak memiliki hasrat jadi petani? Banyak pihak menyebut, bila hal ini tidak diselesaikan secara cerdas, maka bangsa ini akan menghadapi krisis alih generasi petani.
Dalam kondisi kekinian menjadi petani bukanlah pilihan hidup yang paling menjanjikan. Kaum muda pedesaan tahu betul, menjadi petani tidak mungkin akan dapat hidup sejahtera. Di negara kita, para petani padi, memang terkendala oleh kepemilikan lahan yang sempit, ditambah dengan keterbatasan teknologi. Berbeda dengan para petani di Amerika atau Eropa, yang umumnya memiliki lahan garapan luas ditambah adanya teknologi pertanian yang canggih.
Petani sangat susah untuk berganti nasib. Jeratan kemiskinan terlalu kuat mendera kehidupan mereka. Petani Bangkit Mengubah Nasib, lebih menggema sebagai cita-cita ketimbang secepatnya untuk diwujudkan. Apalagi yang dinamakan hidup sejahtera dan penuh kebahagiaan. Dalam suasana kekinian, hal yang seperti ini lebih mengedepan sebagai bayang-bayang kehidupan, yang entah kapan dapat terwujud.
Atas hal yang demikian, tidak bisa tidak, kita harus mampu melahirkan terobosan cerdas agar kaum muda di negeri ini kembali memiliki keinginan untuk jadi petani. Tantangannya adalah apa dan bagaimana terobosan cerdas itu akan dihasilkan? Jawaban atas pertanyaan ini, benar-benar sangat dibutuhkan. Pemerintah tentu harus mampu merumuskan jaminan sekiranya kaum muda memilih petani sebagai profesi kehidupannya.
Rumusannya pemerintah perlu membuat penegasan, kalau ada kaum muda yang mau menjadi petani, dijamin kehidupannya tidak akan sengsara. Jadi petani di negeri ini merupakan kehormatan dan tanggungjawab untuk memuliakan pertanian sebagai sumber kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat. Jaminan ini perlu meyakinkan kaum muda, menjadi petani adalah langkah nyata menuju kehidupan sejahtera dan bahagia.
Kini pokok masalahnya sudah mulai tergambarkan. Bangsa ini, benar-benar menunggu kehadiran kaum muda yang mencintai pertanian. Mereka inilah yang diharapkan mampu jadi generasi penerus para petani. Kita berharap, peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 94 tahun ini, mampu menjadi titik kuat mewujudkan keinginan diatas. Mari kita ikuti perkembangan selanjutnya. Dirgahayu Pemuda Indonesia. (DM05)