Oleh : Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat
Hadir sebagai program unggulan Pemerintahan Jokowi, Perhutanan Sosial kini terekam sedang melakukan penataan diri menuju penyempurnaannya. Kita tidak tahu dengan pasti, mengapa Program Perhutanan Sosial tidak lagi terlalu mewarnai berita di media massa. Apakah karena Program Perhutanan Sosial sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan atau sebaliknya, semakin melenceng dari apa yang menjadi tujuan mulianya?
Berdasarkan pengamatan yang menyeluruh, Program Perhutanan Sosial sendiri pada awal dikembangkan, dikenal sebagai kebijakan yang kurang dilengkapi oleh sebuah gren desain atau Master Plan yang utuh, holistik dan komprehensif. Perhutanan Sosial lahir sebagai bentuk keberpihakan dan kecintaan pemerintah kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan, sekaligus memelihara, menjaga dan mewujudkan hutan lestari.
Pemerintah ingin agar mereka mampu hidup layak sebagai anak bangsa dan tidak terus-terusan terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal. Selain itu, Perhutanan Sosial tetap diarahkan untuk memelihara hutan dan menjaga kelestarian lingkungannya, melalui keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial budaya.
Up-date perkembangan dan kemajuan Program Perhutanan Sosial, sesungguh nya sangat diperlukan. Untuk hal yang demikian, program ini, rasanya perlu dilengkapi dengan ada nya lembaga humas yang setiap minggu atau bulan menyampaikan informasi tentang perjalanan Program Perhutanan Sosial di seluruh Tanah Air. Masyarakat butuh informasi ini, sehingga dapat dicermati dengan baik, bagaimana sesungguhnya potret Perhutanan Sosial yang ada hingga sekarang.
Program Perhutanan Sosial, bukan program bagi-bagi lahan kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan. Titik tekan pengembangan Perhutanan Sosial tetap ditujukan untuk mempertahankan fungsi hutan sebagai sumber kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat. Perhutanan Sosial tetap dilandasi oleh spirit untuk mewujudkan hutan lestari.
Salah besar, kalau ada orang yang berpandangan demikian. Perhutanan Sosial adalah program pemanfaatan lahan hutan yang selama ini tidak produktif dan tidak memiliki nilai keekonomian dirubah jadi produktif dan memiliki nilai tambah ekonomi dengan “meminjam-pakaikan” lahan hutan yang tidak produktif tersebut kepada masyarakat selama 35 tahun. Kalau memang diperlukan, bisa diperpanjang untuk 35 tahun berikutnya.
Masalahnya adalah apakah masyarakat sekitar hutan itu cukup hanya dengan dipinjam-pakaikan lahan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupannya ? Ah, rasanya tidak. Mereka butuh juga yang namanya biaya sebagai modal kerja untuk mengolah lahan yang dipinjam-pakaikan itu.
Artinya, sebuah keteledoran perencanaan kalau di awal-awal program ini digelindingkan, pemerintah tidak menyiapkan modal kerja bagi para penerima manfaat Program Perhutanan Sosial ini. Kita tidak paham betul mengapa hal seperti ini dapat terjadi.
Akibatnya di beberapa lokasi kita temukan ada nya petani yang merenung sambil menatap lahan yang dua hektar tersebut. Pandangannya kosong, seolah-olah tidak ada harapan untuk perbaikan nasib dan kehidupan. Selidik punya selidik, rupanya sang petani merasa kebingungan, dari mana dirinya mendapat anggaran sebagai modal kerja, untuk memproduktifkan lahan garapannya itu.
Kebingungan semacam ini, banyak juga dialami para petani lainnya. Bahkan saling tuding kesalahan sangat terasa di daerah. Setiap Organisasi Perangkat Daerah terlihat saling membela diri. Padahal, kalau sejak awal kita mampu menyusun master plan Perhutanan Sosial yang berkualitas, tentu gambaran yang demikian tidak perlu terjadi.
Perhutanan Sosial adalah program yang sangat keliru jika dikaitkan dengan kepentingan politik seseorang. Oleh karenanya, siapa pun yang akan diberi mandat oleh rakyat untuk mengelola bangsa dan negeri tercinta ini, mestilah sosok yang tahu persis kondisi kehidupan masyarakat di sekitar hutan.
Presiden Jokowi sangat paham akan hal tersebut. Itu sebabnya, sikap Presiden Jokowi terhadap Program Perhutanan Sosial benar-benar “gaspool” dan memberi dukungan penuh. Kita berharap, siapa pun nanti yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negara ini, dirinya tidak akan pernah lelah untuk terus mengembangkan Program Perhutanan Sosial.
Pengalaman membuktikan, Perhutanan Sosial bukan program yang sifatnya sektoral. Perhutanan Sosial adalah program yang sifatnya multi-sektor. Akan banyak kementerian/lembaga dan komponen bangsa lain yang terlibat di dalamnya. Pengelolaannya, tidak cukup digarap oleh hanya satu kementerian/lembaga. Tapi perlu keroyokan. Sebagai program yang sifatnya nasional, Perhutanan Sosial perlu dirancang melalui perencanaan, pelaksanaan, monitoring/evaluasi yang sistemik melalui pola pendekatan teknokratik.
Rumusan perencanaan perlu terukur dan terstruktur, sehingga menjadi dokumen perencanaan yang berkualitas. Itu sebabnya Bappenas perlu “turun tangan” untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menyiapkan master plan Perhutanan Sosial 25 tahun kedepan.
Secara cepat, dalam waktu yang sesegera mungkin perlu dilahirkan Peraturan Presiden tentang Penguatan Program Perhutanan Sosial dan untuk jangka panjang substansi Program Perhutanan Sosial perlu dimasukan dalam RPJPN 25 tahun kedepan.
Tidak hanya Bappenas yang perlu terlibat langsung dalam perencanaan Program Perhutanan Sosial, namun Kementerian Dalam Negeri selaku “atasan”nya pemerintah daerah, perlu secara pro aktif, mengikuti perjalanan Program Perhutanan Sosial di lapangan. Kemendagri wajib melakukan pembinaan dan pengamanan terhadap keberhasilan program Perhutanan Sosial.
Kemendagri tidak boleh merasa bosan untuk “menjewer” bila ada pemerintah daerah yang tidak mendukung Program Perhutanan Sosial. Dan Kemendagri pun tidak boleh merasa lelah untuk terus memberi terobosan cerdas demi penyempurnaan Program Perhutanan Sosial.
Sebagai program yang salah satu semangatnya mempercepat terwujudnya masyarakat sekitar hutan yang berdaya dan bermartabat, Perhutanan Sosial, mestilah dikemas sedemikian rupa, sehingga kegiatannya betul-betul mengarah kepada pemenuhan maksud diatas.
Jauhkan kepentingan politik. Jangan berpikiran sempit. Mari kita berpandangan jauh ke depan. Perhutanan Sosial butuh dukungan segenap komponen bangsa. Akan menjadi lebih baik lagi, jika pengemasannya ke depan, diracang melalui sebuah gerakan nasional dan gerakan daerah, sehingga tidak lagi bernuansa keproyekan.
Dari berbagai literatur yang ada, dapat disimpulkan pemberdayaan masyarakat sendiri berupaya untuk pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat sekitar hutan berkembang. Dasar pemikirannya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Kedua, memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan. Untuk itu, upaya yang sangat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, kualitas kehidupan serta terbukanya kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi. Artinya, menjadi sangat keliru, bila kita menyia-nyiakan potensi yang ada.
Dan ketiga, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, juga berarti melindungi mereka dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Sergapan struktural menjadi musuh utama yang wajib hukumnya untuk dilawan. (DM05)