Semakin tingginya penggunaan tembakau alternatif di Indonesia, sehingga diperlukan regulasi khusus agar bisa mendorong pertumbuhan industri dan membuka kesempatan lapangan pekerjaan baru. Hal ini disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah.
Menurutnya, di Indonesia perlu adanya regulasi produk tembakau alternatif yang terpisah dan berbeda dari rokok konvensional.
“Dengan sudah banyak beredarnya produk tembakau alternatif di pasaran, sudah saatnya produk-produk tersebut dibuatkan regulasinya tersendiri. Regulasi yang dibedakan dengan rokok akan merangsang UMKM untuk masuk ke dalam industri, disamping menyerap tenaga kerja,” kata Trubus, pada Jumat, 20 Mei 2022.
Trubus menjelaskan bahwa di sejumlah negara sudah dilakukan beberapa kajian terhadap produk tembakau alternatif tersebut.
“Berdasarkan sejumlah hasil kajian di luar negeri, produk ini mampu mengurangi potensi risiko dibandingkan rokok. Saya juga pernah melakukan penelitian dan memang hasilnya lebih rendah risiko,” katanya.
Pada Januari 2021, dalam hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Universitas Trisakti menyebutkan bahwa produk tembakau alternatif mulai digunakan sebagai upaya intervensi dari kebiasaan merokok.
Sebanyak 30 persen responden memakai produk itu agar bisa mengurangi kebiasaan mengkonsumsi rokok. Kemudian alasan kesehatan menjadi penyebab bagi 11 persen responden yang ingin beralih dari rokok, sedangkan sekitar 9 persen responden mengikuti anjuran ahli kesehatan.
Pada penelitian itu juga ditemukan hasil bahwa sebesar 80 persen responden menilai bahwa sebagai upaya untuk berhenti merokok maka promosi produk tembakau alternatif harus lebih dimasifkan.
Selain itu, 90 persen responden meyakini bahwa produk tembakau alternatif merupakan
pilihan alternatif bagi perokok. Sehingga seharusnya produk tembakau alternatif tersedia di pasaran.
Namun penelitian terhadap produk tembakau alternatif yang dilakukan di dalam negeri ini masih sangat minim. Padahal menurut Trubus, penelitian di dalam negeri yang diinisiasi oleh pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dapat menjadi acuan dalam penyusunan regulasi produk tembakau alternatif yang berdasarkan fakta ilmiah.
“Ini karena kurangnya dukungan dan pendanaan yang tidak ada,” katanya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Vaper Indonesia (AVI), Johan Sumantri, juga mengungkapkan agar produk tembakau alternatif diatur dalam regulasi khusus yang berbeda dengan aturan rokok.
Johan menilai, dibandingkan rokok konvensional maka produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, memiliki profil risiko yang berbeda dengan rokok. Produk tersebut memiliki risiko yang lebih rendah yakni hingga 90-95 persen.
“Jika regulasinya sama, tidak tepat. Sedangkan, risiko-risiko itu tidak ditemui dalam penggunaan produk tembakau alternatif dan belum ada kajian yang membuktikan hal tersebut,” ucapnya.
“Jadi, tidak cuma asal bicara bahwa produk ini memiliki risiko yang sama dengan rokok, sedangkan tidak memiliki hasil penelitiannya,” ungkapnya. (DM06)