Oleh : Entang Sastraatmadja (Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)
Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.
Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena, pertama, tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup; kedua, tidak adanya akses secara fisik bagi individu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup; ketiga, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif setiap individu.
Di negara kita, mestinya tidak perlu terjadi rawan pangan. Indonesia adalah negeri yang subur. Koes Plus lewat lagunya Kolam Susu malah menyebut “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Ini menggambarkan betapa suburnya Tanah Merdeka. Jadi, suatu hal yang tidak masuk akal sehat lagi, bila ada warga bangsa yang rawan pangan.
Jika demikian, bukankah yang sedang terjadi adalah rawan daya beli masyarakat? Bahan pangan apa pun tersedia di negeri ini. Apakah pangan yang diimpor atau pun yang dihasilkan para petani di dalam negeri. Selama kita memiliki kemampuan untuk membeli nya, maka akan kita dapatkan pangan itu.
Atas gambaran yang seperti ini, sebenarnya di negara kita, pangan selalu ada dan tersedia. Kita tidak pernah kekurangan pangan. Mau bahan pangan apa pun tentu dapat kita nikmati. Yang tidak ada justru daya beli rakyat untuk memperoleh pangan itu sendiri. Ini yang perlu pemikiran cerdas dan menjadi bahan diskusi yang cukup hangat.
Karena daya beli yang lemah, sebagian besar warga bangsa tidak mampu mendapatkan bahan pangan tambahan. Salah satu penyebabnya, karena uang yang dimilikinya, hanya cukup untuk membeli bahan pangan pokok saja. Mereka tidak mampu membeli sayur atau buah-buahan. Dengan demikian, suasana yang terjadi di masyarakat, bukannya rawan pangan tapi rawan daya beli.
Masa Pandemi Covid 19 yang hingga sekarang masih terus berlangsung, tentu membuat kehidupan masyarakat jadi terganggu. Perekonomian nasional pun menjadi terseok-seok. Pertumbuhan yang dirancang hampir tidak tercapai. Struktur ekonomi bangsa seperti yang porak poranda.
Geliat ekonomi tidak terjadi. Ekonomi masyarakat betul-betul terganggu. Pengangguran meningkat. Bahkan pemerintah, terpaksa melakukan refokusing anggaran pembangunannya. Sektor pertanian sendiri, hampir 30% anggarannya direfokusing untuk menjaga stabilisasi perekonomian bangsa.
Untungnya, pemerintah cukup sigap dengan mengucurkan bantuan sosisl (bansos) kepada masyarakat yang berhak menerimanya. Daya beli masyarakat yang kian melemah, dengan adanya bansos menjadi terdongkrak, sehingga kelesuan ekonomi dapat ditingkatkan lagi.
Terbayang, bila pemerintah tidak secepatnya menggelontorkan bansos, apa jadinya kehidupan masyarakat di lapangan. Mereka pasti akan semakin terpuruk kehidupannya. Cepat tanggap itu penting, manakala bangsa kita dilanda bencana kemanusiaan yang banyak mengambil korban nyawa manusia.
Rawan pangan dan rawan daya beli merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan. Kedua hal tersebut tidak perlu terjadi di negara kita. Kenapa harus sampai rawan pangan di negeri yang berlimpah sumber bahan pangannya? Selama pengelolaan pangan dilakukan secara profesional, tidak mungkin kita akan mengalami rawan pangan.
Hal ini bisa saja terjadi, jika kita tidak memiliki kelembagaan pangan secara nasional yang bertanggungjawab terhadap pembangunan pangan secara utuh, holistik dan komprehensif. Tapi, ceritanya akan menjadi lain, sekiranya kita sudah memiliki Badan Pangan Nasional.
Artinya, walau kita harus menanti dengan waktu hampir 9 tahun sejak UU Pangan dilahirkan, akhirnya kelembagaan pangan tingkat nasional dibentuk pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Hadirnya Badan Pangan Nasional, diharapkan dapat mewujudkan pembangunan pangan yang lebih berkualitas.
Badan Pangan Nasional dituntut untuk menjadi “koordinator” yang handal dalam merumuskan dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan monev pembangunan pangan bersama kementerian/lembaga terkait serta dengan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Memang berbeda antara rawan pangan dan rawan daya beli. Di negeri ini, golongan masyarakat yang sering dihadapkan kepada masalah rawan daya beli adalah mereka yang terkategorikan masyarakat menengah ke bawah atau mereka yang tidak berpenghasilan tetap. Rawan daya beli sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh banyak faktor.
Ada nya bencana kemanusiaan seperti Covid 19, jelas akan menurunkan daya beli masyarakat. Mengapa hal ini dapat terjadi ? Salah satu sebabnya, sergapan Covidc19 telah merontokan kehidupan ekonomi rakyat. Otomatis, penghasilannya terganggu. Karena penghasilannya melorot otomatis kemampuan daya belinya jadi melemah.
Kini akar masalahnya sudah mulai tergambarkan. Rawan pangan dan rawan daya beli bukanlah hal yang patut dibanggakan kehadirannya. Justru sebaliknya, kita harus menendang jauh-jauh dari kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. (DM05)