No menu items!

“CEUK SAYA SOTO, NYA SOTO”

Must Read

Oleh : Entang Sastraatmadja (Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)

Judul tulisan diatas, kesan nya provokatif. “Kata Saya Soto, Ya Soto”. Padahal yang dimakannya itu adalah gule kambing. Inilah perumpamaan gaya kehidupan para petinggi bangsa yang masih kental menjebakan diri pada budaya patrimonial. Betapa kuasanya sang pemimpin, sehingga muncul kalimat “sabda pandito ratu”.

Keberadaan budaya patrimonial dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, menjadi semakin parah, manakala dikaitkan dengan tumbuh nya gaya hidup hedonis dan sofistikasi. Artinya, patrimonial, hedonis dan sifistikasi menjadi pembeda dari nilai-nilai kehidupan yang egaliter, merakyat dan penuh dengan kesahajaan.

Bangsa kita, sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang lebih mengedepankan rasa kebersamaan ketimbang mendahulukan kepentingan pribadi atau keluarga atau golongannya. Nilai kehidupan ini tergambar dalam prinsip gotong royong dalam menggarap sebuah pekerjaan.

Gotong royong atau ada juga yang menyebut “sabilulungan”, pada dasarnya sebuah nilai kehidupan yang menggambarkan betapa pentingnya kebersamaan dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Dengan kebersamaan, pekerjaan yang sulit bakal terasa mudah bila digarap secara bersama-sama.

Namun begitu, tidak semua yang namanya kebersamaan akan membawa berkah kehidupan. Tidak sedikit kebersamaan malah membawa malapetaka kemanusiaan. Sebut saja soal “korupsi berjamaah”. Perilaku ini sungguh dikutuk kehadirannya, karena bagi bangsa kita yang disebut korupsi merupakan penyakit pembangunan yang harus dibasmi hingga ke akar-akarnya.

Korupsi terjadi karena seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya. Korupsi dibenci namun seolah-olah direstui. Seseorang yang tidak memiliki kekuasaan, tidak mungkin bakalan mampu melakukan korupsi. Itu sebabnya, hingga kini kita tidak pernah mendengar atau membaca di media massa tentang adanya petani gurem yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Atau kita pun tidak pernah ada buruh tani yang dijebloskan ke penjara karena korupsi uang rakyat. Hal ini menggambarkan yang nama nya petani gurem dan buruh tani bukanlah sosok warga bangsa yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam mengarungi kehidupan nya. Mereka hidup hanya sekedar untuk menyambung nyawa.

Kalau begitu siapa dong yang paling banyak kena OTT KPK? Atau siapa yang sering masuk televisi karena dijebloskan ke penjara? Di jamin halal 100% mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menggunakan uang negara. Tidak heran, kalau mereka itu adalah para pejabat negara atau pun pejabat publik.

KPK malah menyebut dari 34 Provinsi yang ada di negara kita, sebanyak 26 Provinsi terlibat dalam urusan korupsi. Apakah itu pejabat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Kondisi ini benar-benar mengenaskan. Bahkan di tingkat Nasional pun kita terkejut ketika ada Menterinya Presiden Jokowi yang terkena OTT dan digelandang langsung ke Gedung KPK.

Pertama adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edi Prabowo yang dikenal sebagai kader terbaik Partai Gerindra dan yang kedua adalah Menteri Sosial Juliari Batubara yang merupakan kader PDIP. Kedua pejabat negara yang berstatus sebagai Menteri mestinya mereka dapat menahan diri dan mampu mengendalikan hawa nafsu agar tidak tergoda untuk melakukan korupsi.

Sayang, mereka belum mampu tampil sebagai sosok pemimpin yang amanah sekaligus menjaga kehormatan dan tanggungjawab yang diberikan Presiden Jokowi. Yang perlu dicatat adalah tidak sedikit dari orang-orang seperti mereka ini ada yang mengandalkan kekuasaannya hanya untuk menjaga kewibawaan dan kehormatan dirinya semata.

Arogansi kekuasaan yang merasuk kehidupannya, membuat nereka tidak ingin disebut salah atau keliru dalam melakukan perbuatannya. Kita tentu pernah mendengar ada lulusan STPDN yang bertugas sebagai Ajudan Kepala Daerah, salah satu pekerjaan sampingannya adalah menyemir sepatu atau membawakan tas Bosnya. Bahkan ada juga yang membukan pintu mobil Kepala Daerahnya.

Beberapa waktu lalu, sempat muncul istilah beberapa Kepala Daerah lebih memposisikan sebagai “Raja Kecil” ketimbang menjadikan dirinya sebagai Gubernur atau Bupati/Walikota yang melayani keinginan dan kebutuhan warga masyarakatnya. Mereka inilah yang kemudian menganggap diri nya paling hebat, paling pintar, paling tahu, dan yang sejenis dengan itu.

Dari sinilah kemudian lahir beberapa perilaku mereka yang cukup menggelikan seperti judul tulisan diatas. Kata Saya Soto Ya Soto, sekali pun yang dilihatnya adalah gule kambing. Penggambaran seperti ini, sebetulnya hanya ingin menunjukan arogansi kekuasaan itu dapat mengalahkan fakta kehidupan yang sebenarnya.

Ke depan, tentu kita berharap agar para pejabat publik tidak lagi menjadikan kekuasaan sebagai ukuran dalam menjalankan pemerintahan nya. Namun yang akan ditampilkan kepada rakyat adalah sikap kerendahan hati dan kesahajaannya selaku anak bangsa yang berpribadi dan berkarakter. Artinya, kalau yang dikatakan itu soto maka faktanya juga soto. Bukan gule kambing. (DM05)

Latest News

Genjot Peningkatan Produksi Pangan Asal Ternak, Kementan Gandeng Pelaku Usaha

Dalam upaya peningkatan produksi pangan, khususnya pangan asal ternak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan tujuan ekspor, Kementerian Pertanian...

More Articles Like This