Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merupakan sebuah Lembaga Kajian dan Advokasi yang independen non partisan, non profit dan tidak berpihak kepada siapa pun, keberadaan CIPS bertujuan untuk mengadvokasi reformasi atau perubahan, kebijakan yang diambil berdasarkan informasi kongkret, pertimbangan analisis, serta penelitian terhadap kebijakan yang terarah, tentunya untuk kesejahteraan dan kepentingan masyarakat Indonesia.
Salah satu kebijakan yang diambil berdasarkan penelitian tersebut adalah merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Literasi Keuangan. Karena tanpa literasi keuangan dan perlindungan konsumen yang memadai, maka transformasi hanya akan melahirkan berbagai permasalahan baru dalam perekonomian Indonesia, seperti adanya kebocoran data, penipuan investasi dan penipuan dalam perdagangan secara online.
Menurut peneliti CIPS, Audrine Kosijungan, bahwa pandemi COVID-19 telah mempercepat transformasi digital di Indonesia, hal ini juga berdampak pada meningkatnya inklusi keuangan. Namun inklusi keuangan juga perlu ikuti oleh literasi dan upaya perlindungan konsumen.
Karena sangat penting dan sudah menjadi tantangan jauh sebelum transformasi digital dijadikan strategi prioritas negara dalam menyikapi perekonomian di tengah perkembangan digitalisasi.
Diantaranya memperluas pansa pasar dengan memenuhi kebutuhan konsumen serta meningkatkan kualitas produk maupun jasa. Namun dari hasil survei memperlihatkan masih terdapat kesenjangan antara tingkat inklusi keuangan sebesar 76,19 persen dengan literasi keuangan sebesar 38,03 persen ditahun 2019, kesenjangan tersebut dikarenakan kurangnya perlindungan konsumen sehingga menimbulkan berbagai kasus pelanggaran.
Diantaranya adalah seperti yang saat ini sedang menjadi pemberitaan hangat, jutaan data konsumen Marketplace diduga diperjual belikan dalam sebuah situs, bahkan terjadi kebocoran pada data kesehatan para peserta institusi jaminan kesehatan pemerintah.
Menurut peneliti CIPS hal ini terjadi karena kesadaran disrupsi perekonomian yang diakibatkan transformasi digital, terkait pola perdagangan telah mendorong pembaruan kerangka regulasi dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan berbagai resiko yang mengancam hak- hak konsumen.
Alasan inilah yang menjadi dasar untuk merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 pasal 4 Tahun 1999, karena dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ada saat ini masih terbatas, belum mencakup peran pihak ke 3 sebagai penghubung antara penjual dan konsumen. Seperti penyelesaian sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara konsumen dan penjual.
Selain belum diakuinya pihak ke 3 dalam perlindungan konsumen, undang-undang yang ada saat ini juga belum sesuai dalam hal mekanisme ganti rugi dan pelaporan. Misalnya saja ganti rugi dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sementara peraturan pemerintah perdagangan melalui sistem elektronik menyebutkan harus melalui Kementerian Perdagangan.
Sehingga revisi ini diperlukan agar konsumen tidak bingung, sekaligus memperjelas tanggung jawab antara Kementerian atau Lembaga yang terkait. (DM06)