Nordic Aviation Capital (NAC) bereaksi atas pemutusan kontrak sepihak yang dilakukan PT Garuda Indonesia Tbk (Garuda). Perusahaan bermarkas di Irlandia itu menegaskan tidak terlibat dalam skandal korupsi yang membelit Garuda.
“Untuk menghindari keraguan, NAC bukan merupakan pihak dalam investigasi pemilihan pesawat oleh Garuda pada tahun 2012.” Demikian tulis manajemen NAC dalam situs www.nac.dk yang dikutip pada Jumat (12/2/2021).
Pihak NAC menyatakan, awalnya Garuda membeli langsung 6 pesawat Bombardier CRJ1000 dari pabrikan asal Kanada tersebut pada 2012. Kemudian, Garuda baru menyatakan keinginannya menyewa 12 pesawat yang sama dari NAC.
“Dan tidak ada yang salah dengan skema penyewaan pesawat dengan NAC setelahnya,” tulis manajemen NAC dalam rilis itu.
Saat pandemi Covid-19 melanda, NAC mengklaim telah bernegosiasi dengan Garuda untuk meringankan beban keuangan perusahaan. Namun negosiasi itu belum menghasilkan keputusan apapun.
“Dan tidak ada pemberitahuan penghentian yang diterima. Perjanjian sewa dengan demikian tetap berlaku penuh dan NAC mengharapkan Garuda untuk terus memenuhi komitmen kontraktualnya.” Artinya NAC minta Garuda melanjutkannya sesuai kesepakatan awal, yaitu hingga 2027.
Seperti diketahui, Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memutuskan mengakhiri kontrak sewa dan mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 kepada Nordic Aviation Capital (NAC). Meski jatuh tempo pada 2027, pengembalian karena ada bau atau faktor korupsi. Menarik, keputusan ini diumumkan Menteri BUMN Erick Thohir.
“Kita memutuskan untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1.000 untuk mengakhiri kontrak kepada NAC. Tentu keputusan ini ada landasannya, kita tahu bagaimana kami mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik transparan akuntanbilitas dan profesional,” ujar Menteri Erick dalam konferensi daring di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Ia menyampaikan keputusan itu juga melihat dari keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia dan juga penyelidikan Serious Fraud Office (SFO) Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat tahun 2011 lalu.
Selain itu, lanjut Menteri Erick, keputusan mengakhiri kontrak sewa pesawat itu juga untuk efisiensi biaya.
“Kondisi covid-19 ternyata masih berkelanjutan, tidak hanya di Indonesia tapi di banyak negara lain juga masih berlangsung pada tahun ini. Jadi efisiensi menjadi kunci,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa saat ini Garuda Indonesia menjadi salah satu maskapai dengan kontrak sewa yang paling tinggi di dunia, sebesar 27 persen.
“Proses negosiasi ini tentu sudah terjadi berulang-ulang kali antara Garuda dan NAC. Tapi sayangnya early temination belum mendapatkan respon,” kata Menteri Erick.
Dalam kesempatan sama, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan perseroan memiliki 18 pesawat Bombardier, sebanyak 12 pesawat sewa dari NAC dengan skema operating lease hingga 2027.
“Apabila kita terminasi sampai akhir masa kontrak (2027) kita akan saving lebih dari 220 juta dolar AS. Ini sebuah upaya untuk mengurangi kerugian untuk penggunaan pesawat ini di Garuda Indonesia,” katanya.
Sedangkan enam pesawat Bombardier lainnya, lanjut dia, menggunakan skema financial lease dari penyedia financial lease Export Development Canada (EDC) dengan masa sewa sampai 2024, juga sedang melakukan pembicaraan terkait kelanjutan kontrak sewa pesawat.
Irfan juga mengatakan bahwa pihaknya sudah memutuskan untuk mengganti rute-rute penerbangan yang dilayani pesawat Bombardier CRJ dengan Boeing 737.
“Kita juga tidak ada niatan dalam waktu dekat untuk membeli pesawat baru untuk menggantikan ini. jadi kita akan maksimalkan utilisasi pesawat-pesawat yang ada saat ini,” katanya.(DM04)