Oleh : Agung Laksamana (Ketua Umum BPP Perhumas Indonesia)
Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020 pun usai. Joe Biden resmi menjabat sebagai presiden AS ke-46 dengan ditemani wakilnya Kamala Harris, wakil presiden perempuan pertama AS yang merupakan keturunan Jamaika dan India.
Sejak kampanye, Biden dan Kamala memang memiliki strategi yang unik. Ketika Donald Trump identik dengan strategi menyerang, Biden justru terbilang membiarkannya begitu saja. Alhasil Trump yang tidak mengubah strategi kampanyenya –yaitu ofensif dengan siapa saja bahkan dengan pejabat pilihannya justru kerap membuat blunder. Trump pun sering terlihat ‘bodoh’ di akhir-akhir masa pemerintahannya.
Bahkan Trump masih menggunakan slogan kampanye “Make America Great Again” yang persis sama dengan kampanye sebelumnya yang diakui copy paste dari slogan Presiden Reagan tahun 1980.
Sebaliknya, Biden dan Kamala memilih slogan kampanye, “Battle for the soul of the nation.” Walau dalam komunikasi politik slogan ini terasa normatif, ternyata relevansi slogan ini sesuai dengan kondisi yang sedang melanda Amerika. Secara intensional, Biden-Kamala memilih slogan ini agar lebih dekat dengan para voters untuk membangkitkan aspirasi serta emosi warga Amerika Serikat yang paling dalam. Pesan intinya adalah pemilu 2020 bukan pertaruhan Presiden semata tetapi juga nasib dan masa depan bangsa Amerika. Pesan inaugurasi mereka adalah kesederhanaan dan readiness untuk Rebuild the Nation!
Baiklah, Biden memiliki program andalan ketika berkampanye. Termasuk bergabung kembali dalam Paris Climate Accords, kebijakan imigrasi dan visa, kebijakan kepemilikan senjata, jaminan kesehatan yang terjangkau, energi bersih, vaksinasi dan tunjangan COVID-19, swasembada hingga kebijakan pajak yang adil.
Namun, ada satu urgensi lagi yaitu masalah Trust! (kepercayaan)! Menurut Pew Research Center September 2020, hanya 20% warga Amerika yang masih mempercayai pemerintahnya. Biden-Kamala tengah menghadapi defisit kepercayaan dari warga AS.
Bagaimana langkah awal Biden untuk membangun trust warganya? Dalam situasi Krisis, dibutuhkan strategi quick win untuk meraih trust! Dari kacamata PR, menurut saya, quick win yang dilakukan Biden cukup strategis!
Pertama, keberagaman (diversity) dan persatuan (unity). Jajaran pejabat di era Biden ini terbilang tidak biasa. Biden memilih menteri dengan beragam warna kulit–sebutan bagi pendatang di Amerika. Misalnya Lloyd Austin, mantan Komando Militer AS di Timur Tengah yang akan menjadi menteri pertahanan kulit hitam pertama; Alejandro Mayorkas, pengacara asal Cuba yang menduduki menteri keamanan dalam negeri; dan Marcia Fudge menteri perumahan dan pengembangan wilayah yang akan menjadi perempuan kulit hitam kedua yang memegang jabatan tersebut.
Kedua, emansipasi perempuan. Biden juga memberikan tempat yang cukup banyak bagi kaum perempuan pada kabinetnya. Misalnya Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Linda Thomas-Greenfield, Menteri Perdagangan Gina Raimondo yang mantan Gubernur Rhode Island, hingga Menteri Keuangan Janet Yellen, yang juga mantan Direktur Bank Sentral AS. Termasuk tim komunikasi White House adalah Perempuan, seperti Jen Psaki yang menjadi White House Press Secretary.
Ketiga, pluralisme. AS sebagai tempat bagi siapa saja. Biden menunjuk Pete Buttigieg sebagai menteri transportasi. Sekilas memang biasa saja. Namun, di hadapan 26 anggota senat, Buttigieg memperkenalkan suaminya, Chasten. Buttigieg adalah saingan berat Biden dalam bursa pencalonan presiden di internal Partai Demokrat. Bahkan Biden memperkenalkan Buttigieg sebagai anggota kabinet termuda dan gay pertama yang ada di kabinetnya.
Keempat, simpati dan dukungan media. Dalam situasi Krisis , dukungan media adalah krusial dan esensial. Dengan terpilihnya beragam menteri dari latar belakang inilah yang menurut saya menjadi strategi Biden untuk merangkul media dan masyarakat Amerika dengan lebih luas, yang terdiri dari berbagai macam asal-usul. Biden menjadi presiden yang kembali meraih kepercayaan dari media, bertolak belakang dengan Trump yang kehilangan simpati Media!

Dengan memposisikan sebuah pemerintahan yang transparan, akuntabilitas serta pentingnya akurasi data yang faktual dalam penyebaran komunikasi publik, strategi quick win yang dilakukan Biden dari sisi PR ini bisa berdampak pada restorasi trust. Tentu butuh waktu, namun langkah Biden ini bisa memberi angin segar bagi AS.
Bagi praktisi komunikasi, kita bisa belajar bahwa untuk meraih Trust, ternyata penting bagi kita untuk merangkul keragaman, pluralisme, kebersamaan, tanpa fokus pada sosok individu tertentu. Sebuah praktik yang masih terbilang langka dalam komunikasi politik di Indonesia.
Jika sebelumnya Amerika dikenal sebagai negara yang individualistis, tertutup dan vertikal; Biden ingin mengembalikan Amerika sebagai negara yang terbuka, horizontal, dan milik siapa saja. Hal itu disampaikan dalam pidatonya, ketika Biden berjanji, I pledge to be a President who seeks not to divide, but to unify. Who doesn’t see Red and Blue states, but a United States.(*)