Oleh: Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

Persaingan usaha dalam industri energi, terutama minyak bumi dan gas serta energi baru dan terbarukan akan semakin ketat dan berorientasi pada kompetisi efisiensi dan efektifitas pengelolaan perusahaan. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri energi, khususnya migas, maka Pertamina sebagai BUMN yang merupakan salah satu cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola secara efektif, efisien dan profesional. Segala hal yang menimbulkan ketidakefisienan biaya-biaya akan menjadi beban jangka panjang dalam memenangkan persaingan dimasa depan.
Maka dari itu, Pertamina perlu memastikan jaringan operasi usahanta dari hulu (upstream) sampai ke hilir (downstream) dalam bisnis migas ini memberikan keuntungan dan manfaat sebesar-besar bagi rakyat, bangsa dan negara.
Jalur Kritis Logistik
Kegiatan operasi migas yang umum dikenali publik, mulai dari eksplorasi, ekploitasi, pengolahan, pengadaan pengangkutan, distribusi, penyimpanan sampai ke pemasarannya dalam teori ilmu manajemen dikenal sebagai manajemen produksi dan ini merupakan bisnis inti (core business) Pertamina.
Berkaitan dengan keluhan dan kejengkelan Presiden Joko Widodo terhadap besarnya defisit migas yang diakibatkan oleh impor migas sehingga mengakibatkan defisit transaksi berjalan, maka menyampaikan akar permasalahan utama logistik salah satunya, yaitu kepemilikan kapal tanker.
Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan seharusnya melakukan konfirmasi atas manajemen logistik dan distribusi migas dari Pertamina yang dahulu memilki kapal tanker, lalu dijual saat Menteri BUMN dijabat Laksamana Sukardi, yang pada tanggal 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan dan mengklaim penjualan kapal very large crude carrier (VLCC) milik Pertamina itu memperoleh untung sejumlah 53 juta dolar AS. Benarkah demikian?
Selain itu, apabila dibandingkan, misalnya dengan harga pembelian kapal VLCC dipasaran yang berkisar sekitar US 20 juta, sementara Pertamina harus mengeluarkan biaya sewa kapal tanker kepada pihak swasta sejumlah rata-rata US15-20 juta per tahun dikalikan jumlah kapal yang disewa, maka betapa tidak efisien biaya logistik Pertamina. Apabila kapal sewa logistik Pertamina itu sejumlah 20 unit, berarti jumlah dana yang harus dibayarkan adalah $US350-400 Juta per tahun.
Pertanyaannya adalah, apakah kepemilikan kapal oleh Pertamina merupakan bagian penting dari kegiatan logistik dan distribusi Pertamina yang mampu menekan Biaya Proses Produksi atau Harga Pokok Penjualan (HPP) produk BBM sehingga berdampak pada harga juak ke konsumen, atau ini merupakan biaya yang membuat produksi atau operasi Pertamina tidak efisien dan efektif. Perbandingan biaya sewa kapal tanker sederhana di atas dapat menjadi jawabannya.
Tentu sangat penting melakukan kajian mendalam atas pilihan yang tersedia bagi Pertamina antara memiliki kapal pengangkutan migas sendiri dibandingkan dengan menyewa pada perusahaan swasta. Kalaupun biaya sewa kapal lebih efisien dan efektif, tentu akan berpengaruh pada murahnya harga BBM, namun faktanya sejak Pertamina tidak memiliki kapal, harga BBM justru naik terus, walaupun kurs dolar atas rupiah melemah atau harga MOPS turun.
Soal inilah yang perlu dipertanyakan oleh Presiden, karena dampaknya tidak saja berkontribusi pada harga jual BBM, tapi juga berkaitan dengan kecepatan dan ketepatan pasokan (supply) BBM ke Pertamina, baik itu yang berasal dari impor maupun produksi dalam negeri yang akan berpengaruh ke hilir dan konsumen akhir juga. Dibandingkan dengan keluhan masalah impor migas yang berkaitan dengan kekurangan produksi atas konsumsi BBM di dalam negeri, maka masalah utamanya lebih disebabkan oleh investasi sektor hulu energi dibawah tanggungjawab SKK Migas.
Sebagai pembanding dalam konteks logistik dan distribusi sebagai bisnis inti, yaitu perusahaan makanan PT Indofood Sukses Makmur yang memilki lebih dari 300 armada jaringan logistik dan distribusinya sehingga produk dan harga produknya dapat terjangkau oleh konsumen, tentu ada yang aneh dalam pencopotan Direktur Logjstik Supply Chain dan Infrastruktur Pertamina apabila yang bersangkutan justru hendak membenahi jalur kritis (critical path) operasi bisnis inti Pertamina ini untuk membenahi kinerja Pertamina menjadi tambah baik, atau apakah sebaliknya yang terjadi pada kebijakannya.
Secara konsepsi, logistik dan distribusi dalam teori ilmu manajemen produksi, maka pengangkutan, baik itu melalui kapal (perkapalan) maupun pengangkutan lewat darat dan udara adalah jalur kritis serta kunci dalam proses bisnis Pertamina yang berpengaruh pada pembentukan biaya dan penetapan harga BBM Pertamina. Maka, untuk kepentingan menekan biaya dan harga ke konsumenlah tujuan Pertamina memiliki anak usaha dibidang perkapalan ini sangat relevan dibanding menyewa pada korporasi swasta yang tidak dapat dikendalikan sendiri proses perjalanan pengangkutan minyak atau BBM dari tempat asal ke tempat tujuan.
Oleh karena itu, publik perlu mendessk kepada Menteri BUMN Erick Tohir supaya melakukan kajian perbandingan biaya (cost comparative) saat Pertamina memiliki kapal dahulu dengan saat ini menyewa kapal untuk menjalankan proses logistisasi dan distribusi. Termasuk meminta agar Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Direktur Utama dan Komisaris Utama dapat berhati-hati dan lebih fokus dalam melakukan identifikasi atas anak, cucu sampai cicit usaha Pertamina yang akan dihibahkan, dibubarkan, dan apalagi akan dijual. Jangan sampai kejadian penjualan VLCC yang sangat berguna bagi operasi usaha Pertamina dimasa depan sebagai jalur kritis terulang kembali.
Logika umum sederhana dan dapat dipahami oleh orang awam bagi setiap perusahaan dimanapun berada dan apapun bisnisnya, adalah dengan memiliki kapal tanker sendiri, maka perusahaan lebih efisien dan efektif menjaga beban biaya. Apalagi utamanya untuk PT Pertamina sebagai BUMN strategis negara, harus memantapkan visinya sebagai perusahaan besar yang berkelas dan berkualitas secara manajerial. Kemana arah perjalanan Pertamina ke depan, seperti apa Corporate Strategic Plannya (Rencana Strategis Perusahaan) atas jalur kritisnya selama ini dengan menyewa kapal kepada pihak swasta akan sangat ditentukan oleh kemampuan jajaran Direksi dan Komisaris dalam menata kembali kekuatan Pertamina mengelola jalur kritis dalam usaha perminyakan ini.
Kalau dulu Tahun 1970-1980-an Pertamina berhasil mengelola usaha bidang energi yang besar ini semakin maju dan berkembang, maka hal itu tak lepas dari penguasaan manajemen logistik dan distribusinya. Dan, melalui pengelolaan bisnis perkapalan inilah salah satu sumber bagi Pertamina dalam menghasilkan laba perusahaan, beroperasi lebih leluasa dan melakukan berbagai terobosan investasi. Sudah saatnya kebutuhan atas kapal sendiri yang akan membuat perusahaan beroperasi lebih optimal dan memberi harga BBM yang lebih wajar ke masyarakat konsumen menjadi kebutuhan prioritas. Semoga ketersediaan kapal VLCC ini menjadi bagian dari rencana strategis BUMN Pertamina untuk kembali tampil sebagai perusahaan energi disegani didunia yang dicita-citakan oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh rakyat Indonesia.(*)